Di era kecerdasan buatan seperti sekarang, ada satu pertanyaan yang sering muncul di benak para guru dan orang tua: keterampilan apa yang benar-benar perlu diajarkan kepada anak-anak agar mereka siap menghadapi masa depan? Menariknya, jawaban atas pertanyaan ini justru ditemukan dari pengalaman anak-anak dengan disleksia.
Disleksia adalah kondisi spesifik yang membuat seseorang kesulitan membaca teks secara lancar, terutama jika membaca sendiri. Meskipun demikian, anak-anak dengan disleksia sering menunjukkan pemahaman dan analisa yang sangat tinggi saat mereka mendengarkan cerita atau berdiskusi, bahkan lebih tajam daripada teman-teman sebayanya yang tidak mengalami kesulitan baca.
Berdasarkan pemaparan pada World Literacy Summit 2025, berbagai riset dan survei menemukan bahwa anak-anak disleksia ternyata unggul dalam enam keterampilan utama: analytical thinking (berpikir analitis), creative thinking (berpikir kreatif), resilience (pantang menyerah), motivation (motivasi yang tinggi), curiosity (rasa ingin tahu), dan empathy (empati). Keenam keterampilan ini persis seperti yang saat ini juga dianggap penting di dunia kerja masa depan menurut World Economic Forum.
Namun yang perlu dicermati, kegiatan literasi di sekolah dan keluarga masih sering terjebak pada pertanyaan tingkat rendah menurut Taksonomi Bloom (Lower Order Thinking Skills/LOTS), seperti: mengingat (C1): “Siapa nama tokoh utama?”, memahami (C2): “Apa cerita utamanya?”, dan mengaplikasikan (C3): “Sebutkan urutan peristiwa!”
Jenis pertanyaan ini sangat mudah diajarkan, ringan, dan—paling krusial—mudah digantikan AI. Agar siswa relevan di masa depan, kegiatan literasi harus lebih sering memberi tantangan dengan pertanyaan tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS), misalnya: menganalisis (C4): “Apa alasan tokoh mengambil keputusan itu?”, mengevaluasi (C5): “Bagaimana kamu menilai solusi cerita?”, dan mencipta (C6): “Buatlah akhir alternatif untuk cerita tadi!”
Hal serupa juga berlaku pada Taksonomi SOLO, di mana Uni-structural & Multi-structural (level rendah) hanya fokus informasi dasar atau daftar fakta. Sementara itu, di Relational & Extended Abstract (level tinggi) berfokus untuk mengaitkan, membandingkan, menyimpulkan, dan menciptakan konsep baru, misalnya: “Bagaimana konflik cerita ini bisa dibandingkan dengan situasi nyata di lingkunganmu? Apa solusimu?”
Jadi, semakin mendalam pertanyaan yang diberikan dalam kegiatan literasi, menuntut analisis, evaluasi, kreativitas, dan empati, semakin besar peluang anak untuk bertumbuh sebagai manusia yang tidak tergantikan oleh mesin. Kunci masa depan ada di tangan mereka yang mampu berpikir tingkat tinggi, menghubungkan informasi, dan memaknai. Bukan hanya mengingat atau menyebut kembali informasi dasar.